Mistletoe dari pandangan Kristiani
Mistletoe dari sudut pandang Umat kristiani,
sebagian dari hiasan Natal Kristiani berasal dari kebiasaan kafir. Namun demikian, dengan pewartaan Injil oleh para misionaris kepada kaum kafir, hiasan-hiasan ini “dibaptis”, dan diberi makna Kristiani yang baru. Sekarang, marilah kita melihat lima hiasan tradisional Natal yang umum: mistletoe, holly, ivy, laurel dan poinsettia.
Keempat tanaman yang pertama: mistletoe, holly, ivy dan laurel, termasuk kelompok evergreen, yakni tanam-tanaman yang daunnya berwarna hijau sepanjang tahun. Baik dalam budaya kafir maupun dalam budaya Kristiani, sejak jaman dahulu kala, evergreen melambangkan kekekalan dan kehidupan abadi. Secara istimewa bagi umat Kristiani, evergreen memiliki simbolisme dasar bahwa Tuhan kita adalah kekal dan ilahi dan bahwa Ia menghendaki kita ikut ambil bagian dalam kehidupannya yang abadi dalam kerajaan surga.
Mistletoe dianggap sebagai tanaman penyembuh yang gaib oleh kaum kafir Druids; bahkan disebut “penyembuh segalanya.” Umat Kristiani mengambil tanaman ini dan menjadikannya simbol Kristus, Penyembuh Ilahi segala bangsa.
Mengenai “berciuman” yang dihubungkan dengan mistletoe, sebuah legenda Norse kuno mengisahkan bahwa Freya, dewi cinta, menempatkan mistletoe pada sebuah pohon, antara langit dan bumi, dan memutuskan bahwa mereka yang lewat di bawahnya wajib berciuman. Sebab itulah, mistletoe menjadi lambang kasih dan persahabatan. Sementara kasih dan persahabatan jelas merupakan keutamaan-keutamaan Kristiani yang patut diamalkan, saya tidak beranggapan bahwa sembarang berciuman adalah tujuan dari hiasan Natal ini. Makna “penyembuh” dari tanaman ini lebih tepat.
Meski tidak diketahui secara pasti, tetapi sebagian sumber berpendapat bahwa kaum kafir Romawi mengirimkan ranting-ranting holly sebagai tanda ucapan selamat pada waktu perayaan tahun baru. Umat Kristiani perdana dengan mudah melihat simbolismenya yang lebih mendalam: daun-daunnya yang berduri dan runcing secara istimewa melambangkan mahkota duri dan bahkan paku-paku penyaliban, sedangkan buah-buah berry merah melambangkan darah yang tercurah dari luka-luka Kristus. Sebab itu, hiasan holly pada masa Natal mengingatkan kita bahwa Kristus dilahirkan untuk menderita sengsara dan wafat demi menebus dosa-dosa kita, yang akan dibasuh bersih dengan Darah-Nya yang Mahasuci. Karenanya, di Norwegia dan Swedia, holly disebut “duri Kristus”.
Ada beberapa kisah tradisional seputar pohon holly. Misalnya, dikisahkan ketika Keluarga Kudus sedang melarikan diri dari pasukan Raja Herodes, mereka bersembunyi di bawah sebuah pohon holly yang rindang dan berdaun lebat, untuk melindungi diri. Daun-daun holly yang runcing pastilah menjauhkan siapa pun yang berpikiran sehat untuk mencari di sana, dengan demikian menyembunyikan Keluarga Kudus dengan aman. Oleh karenanya, Santa Perawan memberkati pohon holly dan mengatakan bahwa untuk selamanya ia akan tetap hijau.
Legenda lain mengisahkan bahwa Salib Kristus dibuat dari kayu pohon holly. Karena hubungannya ini dengan sengsara dan wafat Kristus, maka kemudian pohon holly ditandai dengan daun-daun yang runcing dan buah-buah berry berwarna merah darah.
Dalam lagu “The Holly and the Ivy,” disebutkan dua simbol lain dari holly: Pertama, bunga-bunga pohon holly berwarna putih “bagai bunga bakung,” mengingatkan kita akan kemurnian Yesus yang dilahirkan oleh BundaNya Maria; Kedua, kulit pohon holly, yang “sepahit empedu”, mengingatkan kita akan minuman yang diberikan kepada Tuhan kita sementara Ia tergantung di kayu salib.
Dewa Romawi Bacchus, dewa anggur, mengenakan ivy pada mahkotanya. Karena alasan ini, umat Kristen perdana tidak mempergunakan ivy sebagai hiasan di dalam gereja, melainkan mempergunakannya di luar sebagai hiasan Natal. Ivy tumbuh dengan menempel pada sesuatu, seperti tembok atau terali. Buah-buahnya agak rapuh dan mudah pecah. Bagi umat Kristiani, ivy mengingatkan kita bahwa kita adalah manusia yang lemah dan rapuh karena dosa asal, dan tak dapat menyelamatkan diri kita sendiri. Kristus datang untuk menyelamatkan kita. Kita patut dengan setia `menempel' erat pada Tuhan kita, menyandarkan diri pada kekuatan-Nya agar kita dapat menjadi kudus dan beroleh keselamatan.
Yang terakhir, para kaisar Romawi mempergunakan daun-daun laurel untuk merangkai suatu mahkota yang dikenakan di kepala sebagai lambang kemenangan. Mahkota laurel yang demikian juga dianugerahkan kepada para pemimpin militer yang menang dalam pertempuran, dan kepada para atlit yang menang dalam pertandingan. Para perawan dewi Vesta juga menganggap laurel sebagai tanaman yang sakral dan sebagai lambang kebajikan.
Pada masa Natal, laurel mengingatkan kita akan kemenangan Kristus atas dosa dan maut, dan akan panggilan kita untuk menjadi kudus. Kita berharap memperoleh mahkota kemenangan atas dosa dan bertahta bersama Tuhan kita di surga. St Paulus mengajarkan,
“Tidak tahukah kamu, bahwa dalam gelanggang pertandingan semua peserta turut berlari, tetapi bahwa hanya satu orang saja yang mendapat hadiah? Karena itu larilah begitu rupa, sehingga kamu memperolehnya! Tiap-tiap orang yang turut mengambil bagian dalam pertandingan, menguasai dirinya dalam segala hal. Mereka berbuat demikian untuk memperoleh suatu mahkota yang fana, tetapi kita untuk memperoleh suatu mahkota yang abadi” (1 Kor 9:24-25).
Dalam surat kepada St Timotius menjelang akhir hidupnya, St Paulus sekali lagi mempergunakan perumpamaan yang sama,
“Saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya” (2 Tim 4:6-8).
Poinsettia, tanaman yang berasal dari Amerika Tengah, amat populer. Mahkota bunganya yang berwarna merah menyala melambangkan kasih ilahi yang bernyala-nyala dari hati Penebus kita. Bentuk bunganya dan kontrasnya warna merah dengan hijau dedaunan juga mengingatkan orang akan bintang Betlehem yang bersinar begitu cemerlang pada malam Juruselamat kita dilahirkan, bintang yang menghantar para Majus datang kepada-Nya.
Ada suatu legenda yang populer mengenai poinsettia. Di masa yang silam, pada malam Natal, soerang gadis kecil Indian di Meksiko sangat ingin membawa suatu hadiah untuk dipersembahkan kepada Bayi Yesus yang terbaring di atas buaian-Nya di gereja. Sebab ia sangat miskin, ia tak mampu membeli sebuah hadiah, seperti yang dilakukan anak-anak lainnya di kota itu. Maka, dalam perjalanan ke gereja, ia mengumpulkan rerumputan hijau di tepi sebuah padang.
Sama seperti anak-anak lainnya, ia pun berjalan di lorong di antara bangku-bangku gereja dan menempatkan karangan rerumputannya di samping buaian Kanak-kanak Yesus. Sekonyong-konyong, rerumputan hijau berubah menjadi sekuntum bunga merah yang amat indah, sebab ia telah memberikan hadiah yang paling mengagumkan dari semua hadiah lainnya, yaitu kasihnya yang sejati. Sejak saat itu, poinsettia dikenal di Meksiko sebagai flores de la Noche Buena.
Hiasan-hiasan Natal ini, memang mungkin saja berasal dari masa-masa kafir, tetapi sekarang telah memiliki maknanya yang baru, yang jauh lebih indah bagi umat Kristiani. Sementara kita menghiasi rumah kita pada masa Natal ini, marilah kita melihat hiasan-hiasan itu sebagai sarana pengingat akan makna Natal yang sesungguhnya.
Romo William P. Saunders
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment